2/3/09

Tradisi Pembaretan dan kultur satuan TNI

Pembaretan dan pleton latihan (ton lat) pembayatan dll sebenarnya adalah bagian dari sisi keprajuritan Tentara Nasional Indonesia yang memang terkait dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Semua itu dimaksudkan agar para prajurit baru dapat memahami betapa berharga dan sucinya pengabdian kepada ibu pertiwi yang seringkali berujung kepada nyawa yang menjadi taruhannya. Simaklah pendidikan pasukan - pasukan khusus baik di TNI AD, TNI AL maupun TNI AU. Walaupun mereka telah mendapat baret di kesatuan asal atau induknya namun apabila satuan khusus yang dimasuki memiliki tradisi dan karakteristik tersendiri dalam berbagai hal yang berbeda dengan satuan asalnya maka tradisi pembaretan dan pemasangan Brevet tetaplah sakral bagi seorang prajurit. Karena untuk mendapatkan baret dan brevet kebanggaan perlu minimal 7 bulan menempuh pendidikan untuk memiliki skill dan kemampuan yang memang seperti diakui oleh tentara asing SAMPAI BATAS PUNCAK atau bisa dikatakan SADIS ! Lihat saja pembaretan Kopassus, Raider, Ton Tai Pur, IPAM, Paskhas dan Kopaska semua dicapai dengan susah payah oleh calon anggotanya.

Biasanya setelah tradisi pembaretan maka diadakan tradisi pengenalan satuan. Disini para prajurit baru dikenalkan kepada kehidupan batalyon / satuan dan senior. Nah, awalnya walaupun tujuannya baik namun seringkali ini dijadikan ajang balas dendam oleh para senior. Kekerasan yang tidak perlu sering terjadi dengan alasan yang dibuat - buat. Sebenarnya para junior ini (terutama tamtama remaja) bukan takut. Mereka hanya segan. Karena pada klimaksnya bisa terjadi kekacauan dalam batalyon seperti pada 2000-an di Yonif 515 / KOSTRAD di Tanggul Jember dan Yon Arhanudri 1/ KOSTRAD di Serpong. Keduanya kebetulan batalyon KOSTRAD. Disamping 2 batalyon tadi masih banyak contoh lainnya namun belum terungkap. Sebenarnya keras itu perlu untuk menempa mental prajurit namun kekerasan yang berlebihan justru berbahaya. Sikap yang keras (bukan kaku) perlu dari seorang pelatih dalam latihan agar prajurit dapat mengerti dan cepat menguasai skill yang diperlukannya. Sikap keras seorang komandan regu, peleton, kompi sangat perlu dalam pertempuran agar motovasi prajuritnya tidak drop.

Sikap keras yang berlebihan inilah yang akhirnya menjadi Bullying. Ini dicontoh oleh Sekolah sekolah bermodel Semi Militer semacam IPDN, STIP dll. Mereka beranggapan bahwa militer mendidik para prajuritnya dengan kekerasan sehingga para juniornya pada patuh. Anggapan ini tentu saja salah besar karena yang menjadikan seorang patuh adalah sistem. Pelatih, komandan dan senior menghukum seorang prajurit apabila melakukan kesalahan bukan mengatas namakan pribadi-nya melainkan aturan kedinasan. Sedangkan para taruna sipil ini melakukan kekerasan tanpa alasan dan hanya sebagai gagah - gagahan. Mereka ingin dihormati dan ditakuti oleh para juniornya. Saya sangat menyesali hal ini

Tiap satuan di TNI itu unik. Mereka punya sesanti, lambang dan keterkaitan sejarah (legenda) bangsa Indonesia. Satu - satunya organisasi tentara profesional yang mempunyai hal seperti itu di dunia adalah TNI. Multi kultur bangsa Indonesia menyebabkan satuan tempur nya memiliki gerak dan tradisi khas satuan yang beragam. Tengok saja Batalyon 323 Raider yang memiliki keterkaitan dengan legenda Buaya Putih. Atau Batalyon Linud Masariku di Ambon, semua punya kultur tersendiri yang erat dengan budaya masyarakat setempat.

2 comments:

D...@ said...

baca punya pak ari..jadi ngeri juga y..segitu kerasnya kehidupan di lingkup militer ...but...TNI always my hero.... selamat bertugas pak..
bravo...

Joel Manz said...

salam kenal bro...

stpdn dan stip itu dulu memang sekolah militer, cuman setelah di-sipil-kan, para senior, alumni dan dosennya pada kebablasan...

stpdn jatinangor, tiga angkatan pertama kena wamil + jadi danramil selama 1 tahun, baru mereka jadi sipil... mereka bisa kena wamil karena campur tangan Jenderal Rudini (mendagri waktu itu)...

kalo stip, ditahun 50-60-an malah menjadi salah satu sumber kawah candradimuka untuk perwira ALRI, setiap lulusan stip kena wamil selama 5 tahun... baca dech novel "north wing", di situ dijelasin sekilas tentang kondisi stip di tahun 50-60-an... atau kalo mo baca review-nya bisa ke blog saya...

aktif di forum tni-au & tni-al,bro?

salam...